1440 & 1441

Woy wordpress, lama kita tak saling sapa. Sebenernya sejak lama aku ingin bercerita, tentang momen momen baru yang ku jumpa. Tapi entah mengapa, semakin sulit saja aku merangkai kata. Lagipula tugas-tugas di kampus juga banyak menyita masa. Akhirnya, entah tak sempat atau memang aku yang tak menyempatkan masa untuk menyusun frasa, mengekspresikan rasa.

Sebagian orang berfikir, bahwsanya kita menulis hanya karena ingin dibaca. Padahal terkadang tak seperti itu adanya. Dengan menulis kita bisa meluapkan segala rasa, tanpa perlu mendengar respon dari siapa-siapa. Dengan menulis kita bisa melintasi masa, menjadikan setiap momen dikenang dan tak terlupa. Karena kita bisa membuka dan membacanya lagi pada lini masa yang berbeda.

Hari ini aku menjadi saksi dimana umat muslim menjadi gembira dan dirundung lara pada waktu yang sama. Bagaimana tidak, kita bahagia karena kedatangan tamu yang istimewa, yaitu bulan Ramadhan yang mulia. Tapi kita juga berduka, karena Ramadhan tiba disaat dunia sedang tak baik baik saja. Sebenarnya ini kali kedua aku merasakan suasana Ramadhan yang berbeda.

Tahun lalu (Ramadhan 1440H) aku harus menahan lapar dan dahaga 15 jam lamanya, dengan suhu +-46 celcius. Tak ada bazar makanan menjelang berbuka. Juga tak ada suasana khas Ramadhan seperti yang kita temukan di Indonesia. Untung saja kita sering berbuka bersama diaspora, bisa sedikit mendatangkan suasana Ramadhan di tanah air tercinta.

Ada tradisi unik yang Kuwait punya, Gargee’an (قرقيعان) namanya. Pada tangal 15 Ramadhan anak anak kecil berkumpul memakai baju adat Kuwait dan membawa keranjang kecil, kemudian mereka jalan bersama-sama mengetuk pintu pintu rumah untuk meminta permen dan manisan sambil menyanyikan sebuah lagu khas. Kayakya tradisi ini bukan di Kuwait saja sih, tapi di jazirah arab umumnya.

Sebenarnya tak banyak yang berbeda saat suasana Ramadhan disana dengan hari biasa. Bahkan shaf saat shalat taraweh pun seperti sholat-sholat pada hari biasanya. Hanya saja sepuluh malam terakhir disana berbeda, karena semua masjid dipenuhi banyak manusia. Dipenuhi gamis putih untuk barisan pria, dan gamis hitam di barisan wanita (Tak seperti di Indonesia yang banyak warna). Pernah sekali aku pergi ke masjid utama negara, Masjid Kabeer namanya. Macam Masjid Istiqlal di Indonesia. Ramai pake banget, bahkan sampai tentara pun ikut turun tangan untuk berjaga sangking ramainya. Saat itu sholat malam dipimpin oleh Sheikh Mishari Al Afasy dan Sheikh Fahd Al Kandari. DAN WOW! Hampir sebagian besar jamaah banyak meneteskan air mata sepanjang imam melantunkan ayat ayat-NYA. Suasana yang aku pun dibuat haru olehnya.

Suasana Iedul Fitri disana juga tak semeriah di Indonesia. Disana semua harus sholat di masjid, tidak boleh di lapangan terbuka, demi keamannan katanya. Soalnya pernah ada kejadian pemboman gitu deh. Disana kita tak mendengar suasana takbir menggema, juga tak ada saling silurrahim setelah sholatnya. Begitulah suasana Ramadhan di negara yang ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Rindu.

Tahun ini (Ramadhan 1441H) Dunia kedatangan tamu tak terduga. Virus yang menyebar dengan cepat dari China ke seluruh dunia. Virus yang menyerang jutaan manusia, bahkan tak sedikit yang meninggal dunia. Aku sempat tertahan beberapa hari di Malaysia, sebelum akhirnya bisa pulang ke Indonesia.

Semua terpaksa #dirumahaja demi memutus mata rantai virus corona. Termasuk ritual ibadah yang biasa dilakukan bersama-sama pun ditiadakan untuk sementara. Tak ada shalat Jumat di masjid. Juga tak ada shalat taraweh berjamaah. Buka bersama dengan teman/keluarga yang merupakan kegiatan rutin setiap Ramadhan pun tak bisa dilaksanakan. Banyak yang menderita, karena harus dirumahkan dan diberentikan dari pekerjaan. Ya kita semua berharap agar segalanya bisa segera pulih kembali seperti sediakala.

labibamuayyad

labibamuayyad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *