Setengah bulan Ramadhan telah beranjak pergi. Entah kita ini termasuk orang-orang yang beruntung atau malah merugi. Karena sejatinya di bulan Ramadhan ini kita benar-benar diuji. Apakah kita benar-benar menyambutnya sepenuh hati karena memenuhi seruan ilahi, atau selama ini hanya ikut-ikutan sebagian orang yang menganggapnya sebagai tradisi setahun sekali. Lantas ketika suasana penyambutan Ramadhan sepi, kita acuh tak acuh menyambut Ramadhan tahun ini. Memang suasana Ramadhan kali ini berbeda sekali, karena kita menyambutnya disaat dunia tengah dihantui pandemi.
Salah satu yang membuat Ramadhan tahun ini berbeda adalah fatwa dari Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dimana mereka melarang pelaksanaan ibadah yang mengumpulkan masa. Alhasil, sholat lima waktu dan shalat taraweh di masjid ditiadakan sementara. Fatwa ini disambut dengan sambutan yang berbeda-beda. Ada yang sami’na wa atho’na (kita mendengar dan kita taat). Tak sedikit juga yang enggan menerima. Dengan alasan “Masa lebih takut corona daripada Yang Maha Kuasa?” Atau ada juga yang beranggapan fatwa MUI ini bikin rugi. Karena kita kehilangan pahala sholat berjamaah yang mana itu lebih baik 27 derajat ketimbang sholat sendiri-sendiri.
Kini, setelah sekian lama pandemi melanda. Hati terus berdenyut, tak berhenti mengiba pada Yang Maha Esa agar Corona cepat lenyap tak tersisa. Rindu bagai belati menikam hati. Rindu bergegas ke masjid untuk menenangkan nurani. Atau bersimpuh bersama yang lain menghadap Ilahi. Memang begitu manusia, merasakan sesuatu itu berharga setelah ia tiada atau pergi menghilang sementara. Namun saat ia ada, kita malah memandangnya sebelah mata. Lantas bagaimanakah kita seharusnya?
Tentu terhadap keputusan pemerintah kita haruslah taat. Lantas apakah dengan tidak sholat di masjid berarti kita lebih takut corona daripada Allah Yang Maha Kuasa?
Maqashid syariah (tujuan dari syariat) dalam agama islam itu adalah melindungi lima pokok kepentingan manusia ; Menjaga agama, menjaga nyawa (e.g. disyarariatkan qishos), menjaga harta (e.g. pengharaman Riba), menjaga keturunan (e.g. pengharaman zina) dan menjaga akal (e.g. pengharaman Khamr). Maka tidaklah disyariatkan suatu syariat kecuali untuk menjaga lima hal tersebut.
Dan kita dapati bahwasanya Allah sering “mengalah” dengan lebih mengedepankan maslahat manusia ketimbang hak-hakNYA. Contohnya, kita diperbolehkan melaksanakan dua sholat dalam satu waktu (red:jamak) ketika safar atau sakit. Kita juga diperbolehkan memakan sesuatu yang haram disaat keadaan menghimpit. Ini menunjukan kasih sayang-Nya dan juga betapa fleksibelnya agama kita.
Kenapa? Karena Allah memerintahkan kita untuk melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNYa demi maslahat kita semua. Bukan untuk menambah keesanNya atau kekuatanNya. Karena sebagaimana yang pernah Allah sampaikan dalam hadits qudsi, bahwsanya sekalipun tidak ada sama sekali yang menyembah Allah, tak akan berkurang sama sekali KeagunganNya. Dan sebaliknya, ketika maslahat manusia diabaikan maka kita akan binasa. Maka ketika perintah Allah sedang bertabrakan dengan maslahat manusia karena suatu hal, IA “mengalah” dan memberikan keringanan bagi hamba-hambaNYA demi menjaga kepentingan mereka. Lantas ketika para ahli sudah menyatakan bahwasanya berkumpul untuk sholat berjamaah bisa menjadi wasilah penyebaran corona yang mana itu bisa mengancam nyawa manusia, bagaimanakah kita seharusnya?
Dan untuk urusan pahala tentu itu adalah mutlak hak Allah ta’la. Ketika seseorang beribadah, yang berhak menyatakan bahwsanya ia mendapat pahala sempurna atau tidak hanyalah Allah semata. Tapi untuk hal ini nabi pernah menyinggung dalam hadisnya yang berbunyi :
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ، ثُمَّ مَرِضَ، قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ: اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقًا، حَتَّى أُطْلِقَهُ ، أَوْ أَكفتهُ إِلي
Sesungguhnya seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit maka akan dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Catatlah untuknya (pahala) sesuai dengan apa yang ia rutin kerjakan apabila ia tidak terikat (udzur) sampai sampai aku membebaskannya atau sampai aku mewafatkannya. (Musnad Imam Ahmad, hadis nomor 6895 (juz 11, halaman 497)
Dari hadis tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya jika seorang hamba terbiasa melakukan suatu kebaikan, kemudian ada udzur syar’i yang menghalanginya dari kegiatan rutinnya tersebut, maka akan tetap tertulis untuknya pahala sempurna sesuai apa yang biasa ia lakukan sampai udzur tersebut hilang. Tapi sekarang pertanyaannya adalah, “Apakah kita termasuk dalam kategori orang yang terbiasa menjaga sholat berjamaah sebelum corona menyerang?”
WALLAHU TA’ALA A’LAM BISH SHOWAB…
Baralallah fiik
Ada suatu pelajaran yang sangat besar juga, saat sepi, sendiri di rumah apa masih menghadap ilahi dengan sigap dan taat juga tepat? Semoga kita termasuk golongan Hamba Allah yang taat dan istiqomah. Aamiin
*barakallah