Sebelum masuk ke pembahasan seperti apa perkembangan fikih pada zaman Sahabat, kita harus tahu dulu siapa yang dimaksud dengan Sahabat. Maka yang dimaksud Sahabat ialah:
من لقي الرسول ﷺ وآمن به ومات على الإسلام
“Siapa saja yang bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ, beriman kepadanya dan mati di atas keislaman.”
Sahabat Nabi yang paling terakhir meninggal ialah Abu Thufail Amir bin Watsilah Al Laitsi. Beliau wafat pada tahun 110H.
Namu batasan periode sahabat yang dimaksud dalam pembahasan perkembangan fikih di sini yaitu dimulai dari wafatnya Rasulullah ﷺ (tahun 11H) sampai berakhirnya masa khilafah Ali bin Abi Thalib pada tahun 40H. Jadi periode ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun.
Ketika Rasulullah wafat, beliau meninggalkan para cendekiawan dari kalangan Sahabat yang beliau didik dengan tangan beliau langsung. Mereka ini lah yang melanjutkan estafet dakwah Rasulullah dan menjawab permasalahan umat. Tentunya para Sahabat jika mendapati suatu permasalahan, maka mereka akan mencari jawaban atas permasalahan tersebut di Al Quran dan As Sunnah. Jika mereka menemukan jawabannya di Al Quran dan As Sunnah, mereka tidak akan menengok ke selain dua sumber hukum tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, dunia terus berkembang dan Islam semakin tersebar ke berbagai penjuru negeri. Hal ini menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dan secara lahiriah belum dijelaskan oleh Al Quran ataupun As Sunnah. Maka dalam hal ini para Sahabat berusaha lebih keras untuk menggali lebih dalam kandungan-kandungan yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah. Para Sahabat juga berusaha menemukan kaidah dasar dan esensi yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran ataupun hadis-hadis Nabi yang bisa membantu mereka dalam menjawab permasalahan tersebut.
Maymun bin Mahran pernah menjelaskan bagaimana metode Abu Bakr dalam menentukan sebuah hukum setelah Rasulullah wafat. Beliau berkata, “Setiap kali ada suatu permasalahan maka Abu Bakr akan membaca Al Quran. Jika beliau menemukan jawabannya di Al Quran, maka dia akan langsung memutuskannya. Namun jika beliau tidak mendapati jawaban tersebut di Al Quran, beliau akan mencarinya di As Sunnah. Jika beliau menemukan jawabannya di As Sunnah, maka beliau akan langsung memutuskannya. Namun jika ternyata tidak ada juga di As Sunnah maka Abu Bakr akan pergi menemui kaum muslimin seraya berkata, “Sesungguhnya ada permasalahan ini dan itu datang kepadaku, adakah dari kalian yang mengetahui hadis Nabi ﷺ yang bisa menjadi jawaban atas permasalahan ini?” Jika ada seorang Sahabat yang bisa memberikan hadis yang relevan kepada Abu Bakr, maka beliau akan berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan sebagian dari kita menghafal apa yang disampaikan Nabi kita.” Jika tidak ada juga yang bisa memberikan hadis yang relevan dengan permasalahan tersebut maka beliau berkonsultasi dengan para Sahabat senior untuk mendiskusikan masalah tersebut atau Abu Bakr akan melakukan ijtihad dan membentuk pendapatnya sendiri.”
Sumber Hukum Pada Fase Sahabat
Dari pemaparan sebelumnya maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya sumber penetapan hukum dalam periode ini ada tiga sumber; Al Quran, As Sunnah, dan Ijtihad para Sahabat. Jadi pada zaman ini penetapan hukum dalam islam berangkat dari tiga sumber tersebut.
- Al Quran
Tentulah Sahabat memiliki perhatian yang besar terhadap Al Quran. Mereka jugalah orang-orang yang paling faham Al Quran karena mereka mempelajari Al Quran langsung dari Rasulullah ﷺ dan mereka menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa turunnya Al Quran.
Salah satu bentuk bukti perhatian mereka terhadap Al Quran adalah apa yang dilakukan Abu Bakr ketika banyak para penghafal Al Quran yang syahid ketika berjihad melawan orang-orang murtad. Abu Bakr pada saat itu berijtihad untuk mengumpulkan Al Quran yang sebelumnya pada masa Rasulullah ditulis pada media yang terpencar. Hal ini bertujuan untuk menjaga Al Quran agar tidak hilang.
Kemudian pada zaman Usman bin Affan, beliau memerintahkan sahabat yang lainnya untuk mengumpulkan Al Quran dalam mushaf yang satu dan menyebarkannya ke berbagai negeri agar tidak terjadi perpecahan antaran kaum muslimin karena bacaan yang berbeda.
Abu Abdurrahman As Sulamiy, seorang senior tabi’in juga pernah berkata, “Sessungguhnya kami mempelajari Al Quran dari satu generasi yang apabila mereka mempelejari sepuluh ayat Al Quran maka mereka tidak akan beranjak dari sepuluh ayat tersebut ke sepuluh ayat setelahnya kecuali mereka sudah benar-benar memahaminya.”
- As Sunnah
Kebersamaan para Sahabat dengan Nabi Muhammad ﷺ dan juga kefasihan Bahasa Arab yang dimiliki oleh para Sahabat menjadikan mereka memiliki pemahaman yang mendalam terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
Selain daripada itu, mereka juga orang-orang yang paling keras dalam menjaga keotentikan hadis Nabi Muhammad ﷺ. Sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Said Al Khudri, “Suatu hari Abu Musa mengetuk pintu rumah Umar tiga kali namun Umar tidak menjawabnya. Maka Abu Musa pun pergi. Kemudian Umar menemui Abu Musa dan meminta penjelasan kenapa Abu Musa pergi. Maka Abu Musa berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila kamu telah minta izin (memberi salam) tiga kali tetapi tidak dijawab, maka kembalilah.” ‘Umar berkata, “Berikan aku saksi atas keteranganmu itu. Kalau tidak, aku akan menghukummu.” Maka Abu Said ikut bersaksi atas kebenaran hadis yang disampaikan Abu Musa kepada Umar.
- Ijtihad Para Sahabat
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ketika sahabat tidak menemukan jawaban atas suatu permasalah di Al Quran dan As Sunnah maka mereka berijtihad. Apa itu ijtihad? Ijtihad adalah upaya untuk mendapatkan kesimpulan tentang suatu hukum syar’i yang aplikatif dari dalilnya yang rinci dengan cara istinbath al hukm (menggali hukum) dari wahyu.
Sebetulnya, dalam masalah ijtihad ini para sahabat terbagi menjadi dua golongan:
- Mereka yang jika tidak menemukan jawaban atas suatu permasalahan di Al Quran dan As Sunnah maka berijtihad dengan pendapat dan pandangan mereka.
Sahabat yang termasuk dalam golongan ini di antaranya: Umar bin Khatab, Abdullah bin Masud, Ali bin Abi Thalib, dll.
- Mereka yang mencukupkan diri dengan zawahir nushus (makna tersurat dari Al Quran dan As Sunnah).
Sahabat yang termasuk dalam golongan ini di antaranya: Zubair bin Al Awwam, Abu Hurairah, Ibnu Umar, dll.
Dua golongan ini lah cikal bakal munculnya dua jenis madrasah fiqhiyyah dalam Islam yang akan lebih jelas keberadaannya pada zaman tabi’in. Dua madrasah fiqhiyyah yang dimaksud ialah; madrasah hadis dan madrasah ra’y.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan Sahabat dalam beberapa permasalah. Namun perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Sahabat sangat sedikit terjadi dibandingkan zaman-zaman setelah mereka. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat, di antaranya:
- Perbedaan sahabat dalam jumlah hadis Nabi yang sampai kepada mereka dan mereka hafal.
- Berbedanya tingkat pemahaman Sahabat terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
- Perbedaan tingkat pengetahuan para Sahabat terhadap hukum nasikh dan Mansukh.
- Perbedaan para Sahabat dalam menafsirkan suatu kata dalam nash.
Contoh perbedaan di kalangan Sahabat adalah penetapan masa iddah bagi ibu hamil yang ditinggal mati suaminya.
Pendapat pertama mengatakan bahwasanya masa iddah bagi ibu hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
Pendapat kedua mengatakan bahwasanya bagi masa iddah ibu hamil yang ditinggal mati suaminya itu tergantung mana yang lebih lama antara waktu lahirannya atau empat bulan sepuluh hari. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ali.
Kesimpulan
Metode para Sahabat dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
- Mencari kejelasan suatu hukum dalam Al Quran
- Jika tidak ada hukumnya dalam Al Quran, maka mereka mencari hukum tersebut di As Sunnah
- Jika tidak ada juga ketentuan hukum tersebut di As Sunnah maka mereka bertanya kepada Sahabat yang lainnya apakah ada keterangan dari Rasulullah semasa beliau hidup atas hukum tersebut.
Nice information, syukron juzitum khoiron