Batavia

HOLA JEKARDAH!

Akhirnya bisa lagi kita bersua. Ini dia Daerah Khusus Ibu Kota yang berbulan bulan aku tak jumpa. Dan katanya nggak lama lagi penghuninya akan disebut orang desa. Karena Ibu Kota akan pindah ke pulau seberang sana.

Ternyata sebelas bulan bukan waktu yang lama. Tak banyak yang berubah bersama jalannya masa. Misalnya pagi ini, banyak manusia yang sudah terseret realita. Pergi pagi buta hanya untuk berdesakan di kereta. Pergi rapih, pulang kusam. Pergi wangi, pulang bau asam. Pergi pagi, pulang larut malam.

Pagi ini berdiri di tengah gerbong tanpa berpegangan pun tak mengapa, tak akan jatuh. Karena orang depan, belakang, kanan dan kiri terpaksa sukarela menjadi penyangga, sesak.

Udara lembab menyengat. Penuh sesak orang berjubel, berdesakan dalam kereta yang untungnya bisa berjalan lebih cepat dari larinya kuda. Dalam gerbong, semua lebih memilih untuk tak bersuara. Ada yang asik dengan ponsel mereka. Ada juga yang memilih melanjutkan tidur yang semalam belum puas rasanya. Hanya ada suara ibu-ibu yang sedang meladeni candaan anaknya yang masih balita.

Di stasiun, bercicit-cicit suara emak-emak merumpi tentang anak tetangga yang akan dijodohkan esok lusa. Para satpam pun tak henti-hentinya mengingatkan para pengguna escalator dengan toa, “Yang di jalur kanan jalan! Yang di jalur kanan jalan!” Suara pemberitahuan datangnya kereta dari speaker stasiun, melengkapi keramaian stasiun pagi ini.

Dari stasiun Tebet berjalan lurus ke arah Jalan Sudirman. Suasana khas Ibu Kota mulai tak terelakkan. Mobil-mobil hanya bisa berjalan pelan-pelan. Pasukan bermotor seperti biasa, berusaha nyempil kiri nyempil kanan. Belakangan ini pasukan kuda besi berompi hijau lah yang menguasai jalanan. Nampaknya bagi warga Ibu Kota, macet adalah sarapan dan juga rutinitas harian.

“Hah? Kenapa ada banyak bumbu kacang di tengah jalan?” Pemandangan yang aku lihat sesaat sebelum sampai gedung palma tempat aku membuat Visa Malaysia. Tak jauh dari tumpahan bumbu kacang, di pinggir jalan ada tukang ojek beserta ibu-ibu yang sepertinya adalah penumpangnya sedang berdebat dengan tukang toge goreng. Ah, ternyata…. Drama Ibu Kota

Setelah selesai urusan, aku kembali ke stasiun dengan menumpang ojek online. Ternyata supirnya adalah orang sunda yang sudah tinggal di Jakarta sejak tahun lapan puluhan. Puluhan tahun di Jakarta kerjanya serabutan. Semua dia coba demi bisa bertahan ditengah kerasnya kota metropolitan. Hanya satu yang tak ingin ia coba, meminta minta di jalanan.

“Pengalaman yang paling berkesan selama kerja di Jakarta apaan bang?”

“Wah, jadi gini boss.. Saya pertama dateng ke Jakarta itu kerjanya bikinin kopi orang-orang di kantor. Nah, ada cici cici di kantor itu yang suka sama kerja saya. Akhirnya dia minta saya untuk jadi asisten ibunya di rumah. Rumahnya gedong banget boss. Saya waktu itu diminta tolong untuk ngepel. Saya mah mana tau cara ngepel kan ya boss. Akhirnya itu pelpelan saya masukin ke ember yang ada airnya, terus langsung saya gosok gosokin ke lantai padahal belum saya peres. Mana saya ngepelnya maju lagi bukan mundur. Untung majikan saya baik, jadi dia cuman ketawa dan langsung ngajarin saya. Pokoknya saya dateng ke mari nggak tau apa apa dah boss. Saya juga pernah nih boss, uang cuman tinggal seratus ribu. Saya lama nggak dapet kerja apa apa. Akhrinya saya beli barang buat jualan asongan. Alhamdulillah tuh boss, beberapa hari kemudian uang seratus ribu saya berubah jadi satu juta. Yang penting mah mau usaha kan ya boss?” Sepanjang jalan abang gojek lancar bercerita dengan logat sunda yang sudah bercampur dengan nada bicara orang Jakarta. Suaranya timbul tenggelam dimakan angin dan klakson kendaraan kendaraan yang lain.

Abang gojek ini adalah salah satu dari sekian juta penduduk Jakarta. Berarti masih banyak lagi kisah unik di luar sana. Karena setiap orang punya cerita yang berbeda beda. Hmm.. menjadi pendengar cerita cerita mereka seru kayaknya ya?

Ya begitulah Jakarta. Tempat banyak manusia menggantungkan cita lebih tinggi dari emas monas. Ada yang terhempas kandas. Tak sedikit juga yang keringatnya berubah jadi pundi pundi emas. Entah sudah berapa liter air mata penduduknya yang mengalir bersama aliran sungai ciliwung yang terkadang ganas. Patung Dirgantara (Patung Pancoran) menjadi saksi, bahwa di Jakarta banyak orang orang hebat menetas. Jakarta keras, katanya.

Terimakasih Jakarta.

Stasiun Tanah Abang
labibamuayyad

labibamuayyad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *