Syekh Dr Abdussalam bin Muhammad Al Shuwayer merupakan seorang alim yang berhasil mendapatkan gelar magister dan doktor dalam bidang perbandingan fiqih dari Universitas Mohammad Ibn Saud di Riyadh.
Pada sebuah kesempatan beliau pernah menyampaikan muhadarah dengan tema “Hakikat Bermadzhab dan Hukumnya” yang kemudian muhadarah tersebut ditranskrip dan dijadikan sebuah kitab kecil yang sangat bermanfaat. Pada kesempatan tersebut beliau menjelaskan apa-apa yang berkaitan dengan madzhab dengan cara membaginya ke dalam 10 pembahasan sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan seputar tema madzhab.
InsyaAllah pada kesempatan kali ini saya akan berusaha untuk meringkas apa-apa yang disampaiakan oleh Dr Abdussalam Al Shuwayer dalam muhadarah tersebut.
Apa Maksud Dari Bermadzhab?
Para ulama menyebutkan bahwasanya bermadzhab maksudnya ialah mengikuti atau menisbatkan diri kepada Madrasah Fiqhiyyah tertentu. Yang dimaksud dengan Madrasah fiqhiyyah di sini ialah metode-metode yang dijalani oleh seorang faqih (ahli ilmu fiqih).
Bermadzhab dengan suatu madzhab mencakup dua hal:
- Mengikuti ushul (pokok-pokok) istidlal fiqih madzhab tersebut.
- Mengikuti furu (cabang-cabang) fiqih yang ada pada madzhab tersebut.
Sebenarnya, pada awalnya madrasah-madrasah fiqih ini dinisbatkan kepada kota di mana metode atau madzhab tersebut berkembang. Pada awalnya hanya ada beberapa madrasah fiqih:
- Madrasah penduduk Madinah.
- Madrasah penduduk Kufah.
Kemudian bercabang dari dua madrasah di atas beberapa madrasah; madrasah penduduk Basrah, madrasah penduduk Syam dan madrasah penduduk Mesir.
Seiring berjalannya waktu, ulama-ulama yang terafiliasi dengan madrasah-madrasah tersebut menyebar ke berbagai tempat dan daerah. Sehingga apabila madrasah-madrasah atau madzhab ini tetap dinisbatkan kepada kota tempat asal mereka bisa menyebabkan bias dan kebingungan di antara orang-orang. Maka, mulai sejak itu madrasah-madrasah ini dinisbatkan kepada ulama yang paling terkenal dari madrasah tersebut. Sebagai contoh:
- Madrasah Penduduk Madinah: Ulama paling terkenal yang dinisbatkan kepadanya madrasah ini ialah Imam Daril Hijrah Malik bin Anas.
- Madrasah penduduk Kufah: Ada beberapa ulama terkenal dari madrasah penduduk Kufah. Namun kemudian dirangkum dan digabungkan ke dalam madzhabnya Imam Abu Hanifah.
Adapun Imam Syafi’I dan Imam Ahmad menggabungkan antara beberapa madrasah. Sebagai contoh; Imam Syafi’I pada madzhab qadim-nya beliau menggabungkan antara madrasah penduduk Madinah, madrasah penduduk Mekkah dan sebagian metode penduduk Kufah. Kemudian ketika Imam Syafi’I safar ke Baghdad dan bertemu dengan ulama-ulama di sana beliau mendapatkan dalil-dalil yang belum pernah ia dapati sebelumnya dan ini mempengaruhi qawaid ushuliyyah beliau sehingga munculah madzhab jadid Imam Syafi’i.
Beberapa madrasah atau madzhab yang disebutkan di atas hanya sebagai contoh saja dan bukan sebagai sebuah pembatasan. Karena dulu sebetulnya banyak sekali madzhab-madzhab fiqih yang berkembang di kalangan kaum muslimin. Hanya saja, karena berbagai faktor, yang sampai ke kita dan telah ditetapkan oleh para ulama hanya ada empat madzhab. Bahkan banyak dari kalangan ulama yang melarang kita untuk menyimpang dari empat madzhab ini. Empat madzhab yang dimaksud ialah:
- Madzhab Abu Hanifah (Hanafi)
- Madzhab Malik bin Anas (Maliki)
- Madzhab Muhammad bin Idris (Syafi’i)
- Madzhab Ahmad bin Hanbal (Hambali)
Di antara ulama yang melarang untuk menyimpang atau keluar dari empat madzhab ini ialah; Abu Amr Ibn Sholah dan Abu Al Faraj Ibnu Rajab. Namun ada beberapa ulama muta’akhir yang menyelisihi pendapat ini, di antaranya ialah Ibnu Hajar Al Haytami.
Bagaimana Seseorang Memilih Suatu Madzhab Untuk Dirinya?
Syekh menyebutkan dalam hal ini ada dua keadaan:
- Ketika seseorang tinggal di suatu negeri yang mana penduduk negeri tersebut bermadzhab dengan suatu madzhab tertentu maka kaidah dari para ulama ialah hendaknya seseorang bermadzhab dengan madzhab yang diikuti oleh penduduk negeri tersebut selama ia bermukim di sana.
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwasanya ada seseorang yang datang kepada Abu Ya’la karena ingin belajar fiqih dari beliau dan ia ingin pindah ke madzhab Imam Ahmad (Hambali). Abu Ya’la pun bertanya kepada orang tersebut dari mana ia berasal. Orang ini kemudian menyebutkan daerah tempat ia berasal dan Abu Ya’la mengetahui bahwasanya penduduk daerah tersebut mengikuti madzhab Syafi’i. Maka Abu Ya’la berkata, “Berpeganglah dengan madzhab penduduk negerimu.”
- Keadaan kedua yaitu ketika seseorang berasal dari suatu daerah yang mana di daerah tersebut ada berbagai madzhab atau tidak ada madzhab tertentu yang diikuti penduduknya, maka orang ini memilih di antara madzhab-madzhab yang telah disebutkan tadi dengan kriteria berikut:
- Kaidah-kaidah madzhab tersebut menurutnya lebih selamat.
- Guru-guru dan referensi madzhab tersebut lebih mudah ia temui.
- Madzhab tersebut adalah madzhab yang terpenuhi dengan pemahaman yang benar jika dilihat dari orang-orang yang menukilkan madzhab tersebut. Maksudnya ialah orang-orang yang menyampaikan madzhab tersebut di tempatnya memiliki kecakapaan dan pemahaman yang benar tentang madzhab yang ia ajarkan.
Apa Boleh Menganggap Suatu Madzhab Lebih Benar Dibandingkan Madzhab Yang Lain?
Dalam hal ini ada dua keadaan:
- Menganggap suatu madzhab lebih benar dibandingkan madzhab yang lain secara mutlak maka ini tidak diperbolehkan.
- Menganggap ushul suatu madzhab lebih kuat dibandingkan ushul madzhab yang lain dalam suatu permasalahan maka ini diperbolehkan. Sebagai contoh; Ushul madzhab A lebih kuat dibandingkan ushul madzhab yang lain dalam permasalahan istidlal dengan perkataan sahabat atau dalail alfazh.
Apakah Bermadzhab Sama Dengan Taqlid?
Sesungguhnya tidak ada korelasi antara taqlid dan madzhab karena masing-masing memiliki keumuman dan kekhususannya sendiri-sendiri. Maka tidak semua yang bertaqlid kita katakan bermadzhab dan tidak semua yang bermadzhab itu bertaqlid.
Beberapa perbedaan antara bermadzhab dan taqlid:
Taqlid
- Mengambil pendapat tanpa mengetahui dalilnya
- Kebanyakan taklid itu kembali pada perorangan
- Dalam bertaqlid tidak memerlukan ijtihad. Bahkan ijtihad dan taklid adalah dua hal yang bertentangan dan tidak mungkin Bersatu.
Bermadzhab
- Hukum asal dari bermadzhab adalah mengambil pendapat dengan dalilnya
- Bermadzhab itu mengikuti salah satu madrasah fiqhiyyah bukan mengikuti pendapat perorangan
- Seseorang bisa saja bermadzhab dan berijtihad dalam satu waktu. Bahkan banyak ulama-ulama dari empat madzhab yang mana mereka adalah seorang mujtahid walaupun ijtihadnya adalah ijtihad nisbi. Jadi bermadzhab dan berijtihad bukanlah dua hal yang saling bertentangan.
Bahkan bermadzhab itu adalah jalan bagi seseorang yang ingin menjadi seorang mujtahid. Ada kaidah yang mengatakan bahwasanya seseorang tidak boleh berijtihad sampai ia mengetahui ushul. Dan seseorang tidak boleh mempelajari ushul kecuali ia telah mempelajari furu. Ini adalah teori bermadzhab. Maka dari sini kita bisa menyimpulkan bahwasanya jalan untuk menjadi seorang mujtahid ialah dengan cara bermadzhab terlebih dahulu. Bahkan jika diperhatikan, tidak ada seorang mujtahid setelah abad ke-4 hijriah kecuali ia terafiliasi dengan salah satu dari empat madzhab yang ada.
Apakah Semua Orang Bermadzhab?
Tidak semua orang itu bermadzhab. Orang awam itu tidak bermadzhab, melainkan ia mengikuti madzhab ustadz atau tokoh agama yang ia ikuti (taqlid) dan ia mintai fatwanya.
Bagaimana Cara Bermadzhab?
Para ulama berkata bahwasanya bermadzhab itu mencakup tiga hal:
- Bermadzhab dalam belajar dan mengajar.
- Bermadzhab dalam perbuatan (amal).
- Bermadzhab dalam berfatwa.
- Bermadzhab dalam belajar dan mengajar
Sesungguhnya para ahli ilmu dari abad ke-4 dan setelahnya apabila mereka ingin mempelajari ilmu fiqih atau belajar ahkam furu’iyyah maka mereka memulai dengan mengikuti atau mempelajari salah satu dari empat madzhab yang ada. Karena madzhab-madzhab ini sudah memiliki metode yang tersusun untuk mempelajari ilmu fiqih. Apabila seseorang ingin langsung mempelajari fiqih semuanya tanpa mengikuti madzhab tertentu maka ia akan menghabiskan waktu bertahun-tahun karena ilmu fiqih itu sangat banyak dan luas sekali cakupannya.
Ada tiga tahapan yang harus dilalui seseorang ketika mepelajari fiqih melalui madzhab:
- At-ta’lliq: Seseorang mempelajari pendapat-pendapat madzhabnya tanpa mempelajari khilaf dan dalilnya.
- At-tahqiq: Seseorang mempelajari pendapat madzhabnya dalam suatu permasalahan beserta dalil dan wajh istidlal madzhab tersebut.
- Setelah melewati dua tahapan sebelumnya, maka tahapan selanjutnya adalah At-tadqiq. Tahapan ini terbagi menjadi tiga jenjang:
- Mengetauhi Khilaf Nazil (perbedaan pendapat yang ada dalam madzhabnya).
- Mengetahui Khilaf Aliy (perbedaan pendapat di antara empat madzhab).
- Kemudian mencari tahu dalil-dalil dari setiap perkataan yang ada dalam perbedaan pendapat ini.
Satu hal yang harus diperhatikan bahwasanya tidak boleh seseorang yang mempelajari ilmu fiqih melalui metode talfiq karena itu bukanlah metode yang benar dalam belajar ilmu fiqih. Talfiq ialah pindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya pada setiap permasalahan atau mencampuradukkan beberapa pendapat dalam satu masalah.
- Bermadzhab dalam pebuatan atau amalan.
Yang dimaksudkan di sini ialah seseorang beribadah kepada Allah ta’ala dengan landasan sebuah hukum yang ia yakini. Tentunya setiap perkara memiliki hukum, namun pengetahuan seseorang terhadap hukum ini terbagi menjadi tiga:
- Ilm Majzum: Seseorang meyakini hukum tersebut benar sesuai dengan dalil-dalil shahih yang ia ketahui tanpa ada keraguan padanya. Dalam kasus ini maka seseorang harus beramal dengan hukum yang ia yakini tersebut dan tidak boleh menyelisihinya.
- Ilm Madzhnun (dzhon): Seseorang ragu di antara dua hukum namun salah satunya nampak lebih kuat baginya. Maka orang ini harus beramal dengan hukum yang terlihat lebih kuat baginya.
- Ilm Masykuk (syak): Seseorang ragu di antara dua hukum dan tidak ada yang menguatkan salah satu di antara keduanya. Maka orang ini kembali kepada pendapat madzhab yang ia bermadzhab dengannya.
- Bermadzhab dalam memberikan fatwa
Madzhab punya pengaruh penting dalam proses meberikan fatwa. Ketika seseorang diminta fatwa maka hukum asalnya ia berfatwa sesuai dengan apa yang ada dalam madzhabnya untuk meminimalisir silang pendapat di masyarakat. Namu ada kaidah yang menyatakan bolehnya berfatwa dengan pendapat yang lemah dalam madzhab demi kemaslahatan umum. Boleh juga seseorang memfatwakan sesuatu namun mengamalkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia fatwakan. Ibnu Qayyim pernah berkata, “Boleh bagi seseorang beramal untuk dirinya sendiri dengan pendapat yang asyad (paling keras) namun memberikan fatwa bagi orang lain dengan pendapat yang memudahkan. Namun tidak boleh sebaliknya.”
Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bermadzhab dan tiga hal di atas (belajar, beramal & berfatwa) bukanlah dua perkara yang harus berkaitan.
Apa Faedah Dari Bermadzhab?
- Faidah bermadzhab dalam belajar dan mengajar
- Seseorang bisa belajar fiqih seca bertahap (ta’liq, tahqiq & tadqiq)
- Ushul-ushul-nya menjadi sinkron dan tidak saling bertentangan.
- Faidah bermadzhab dalam beramal
Tentunya setiap orang akan mendapati dirinya ada pada satu titik di mana dia tidak mengetahui hukum suatu permasalahan atau tawaqquf, bisa jadi karena dalil yang nampak baginya saling bertentangan atau tidak ada dalil yang ia punya dalam permasalaha tersebut. Maka dalam kasus ini ia bisa kembali ke pendapat madzhabnya dalam permasalahan tersebut dan beramal sesuai dengan hukum dalam madzhab yang ia pelajari.
- Faidah bermadzhab dalam berfatwa
Dengan bermadzhab maka fatwa yang dikeluarkan olehnya akan bisa lebih terjaga dan lebih kuat. Karena apabila seseorang berfatwa dengan fatwa yang keluar dari madzhabnya akan menimbulkan permasalahan dan pertentangan hukum di antara masyarakat.
Apakah kita wajib bermadzhab?
Syekh Abdussalam Al Shuwayer menjelaskan bahwasanya hukum itu ada yang berupa hukum wasail dan hukum maqashid. Hukum wasail ialah sesuatu yang disyariatkan karena ia merupakan wasilah untuk sesuatu yang lainnya. Sedangkan hukum maqashid ialah sesuatu yang disyariatkan karena dzatnya.
Bermadzhab menurut para ulama termasuk ke dalam bab wasail (wasilah) untuk mendapatkan maslahat dan menghilangkan madharat. Di antara maslahat yang bisa didapatkan dengan bermadzhab yaitu seseorang mampu memahami ilmu syar’i. Sedangkan madharat yang bisa dihindarkan dengan bermadzhab yaitu berkata sesuatu tentang agama tanpa ilmu.
Wasail ini menurut para ulama bisa ditinggalkan apabila memenuhi unsur-unsur berikut:
- Kalau wasilah ini merupakan saddu al dzariah (untuk mencegah kerusakan): Jika tanpa wasilah ini kerusakan tetap bisa dihindarkan maka tidak mengapa ia ditinggalkan
- Kalau wasilah ini merupakan jalbu al mashalih (untuk mendatangkan kemaslahatan): Apabila maslahat bisa tercapai tanpa wasilah ini maka tidak mengapa ia ditinggalkan.
- Jika ada kebutuhan yang mengharuskan seseorang meninggalkan hukum wasail ini.
Maka menurut Ibnu Hajar Al Haytami bermadzhab terkadang bisa menjadi wajib atau sunnah dan meninggalkannya bukanlah sebuah keharaman.
Yang Harus Diperhatikan Seorang Muslim Dalam Hal Bermadzhab
- Jangan sampai fanatik terhadap suatu madzhab tertentu dalam artian sampai tidak mau berteman atau berinteraksi dengan seseorang yang memiliki madzhab berbeda.
- Jangan sampai tersibukan oleh buku-buku fiqih sampai lupa dengan Al Quran dan As Sunnah. Para ulama berkata, “Bukan perbuatan terpuji apabila seseorang yang pandai membaca Al Quran apabila berlalu baginya 40 hari namun ia belum menghatamkan Al Quran.”
- Jangan menjadikan madzhab sumber permusuhan dan perpecahan di antara kaum muslimin.
Wallahu Ta’ala A’lam
جزاك الله خيرا رئيس