Setelah periode kekhilafahan khulafa rasyidin berakhir pada tahun 40H, muncul lah dinasti Umayyah yang melanjutkan estafet kepemimpinan kaum muslimin. Maka, ilmu fikih memasuki fase baru pada periode ini. Periode ini berlangsung dari tahun 41H sampai permulaan abad ke-2 H di mana sudah mulai ada tanda-tanda berakhirnya kejayaan dinasti Umayyah.
Pada periode ini, Sahabat mulai banyak yang berpergian ke berbagai penjuru negeri untuk berdakwah. Pada periode ini juga Islam mengalami pertumbuhan dan perluasan. Masyarakat muslim semakin maju dan berkembang. Karena Islam semakin tersebar ke berbagai penjuru dunia, maka ia bersinggungan dengan kultur-kultur baru sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ruang lingkup fikih semakin tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya kejadian dan peristiwa baru yang terjadi. Maka timbul lah kebutuhan atas penetapan hukum untuk permasalah-permasalahan baru ini.
Para Tabi’in mengikuti jejak guru-guru mereka dari kalangan Sahabat dalam menenentukan sebuah hukum; Pertama-tama mereka akan mencari jawabannya di Al Quran dan As Sunnah. Namun jika mereka tidak menemukan jawabannya di Al Quran dan As Sunnah, mereka tidak langsung berijtihad sebagaimana yang dilakukan para Sahabat. Tabi’in akan berusaha terlebih dulu untuk mencari pendapat dan fatwa para Sahabat atas permasalahan tersebut. Jika tidak ada juga fatwa dari para Sahabat atas permasalahan tersebut, barulan para Tabi’in akan berijtihad.
Sumber Hukum Dalam Fase Ini
Dari penjelasan sebelumnya maka kita bisa menyimpulkan bahwasanya para Tabi’in dalam penetapan sebuah hukum akan kembali kepada sumber-sumber berikut; Al Quran, As Sunnah, Fatwa Sahabat, dan Ijtihad.
- Al Quran
Pada fase ini perhatian terhadap Al Quran juga amat besar. Di antara hal yang menunjukan hal tersebut adalah usaha para ulama di zaman ini untuk memberikan titik dan harakat pada Al Quran. Sebelumnya, Al Quran yang dikumpulkan di zaman Usman bin Affan atau yang lebih dikenal dengan Mushaf Uthmaniy itu tidak ada titik dan harokat pada huruf-hurufnya karena orang-orang pada zaman itu mampu untuk membaca Al Quran walaupun tanpa titik dan harakat. Ketika Islam mulai tersebar, banyak orang yang belum bisa Bahasa Arab masuk ke dalam Islam, maka para ulama berusaha memberikan titik dan harakat pada Al Quran untuk memudahkan semuanya dalam membaca Al Quran. Abu Aswad Ad Duali adalah orang yang pertama kali meletakkan tanda baca pada Al Quran yang mana pada saat itu tanda baca ini masih berbentuk titik-titik. Kemudian setelah beliau datang lah Al Khalil bin Ahmad Al Farahidi untuk menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh Abu Aswad Ad Duali. Al Khalil bin Ahmad Al Farahidi merupakan guru dari ulama nahwu terkenal yaitu Sibawaih.
2. As Sunnah
Pada periode sahabat kebanyakan masih mengandalkan hafalan mereka untuk menjaga keotentikan hadis-hadis Nabi karena memang hafalan para Sahabat sangat kuat dan hajat terhadap pembukuan hadis belum terlalu mendesak. Walaupun sebetulnya sudah ada beberapa Sahabat yang menulis hadis-hadis Nabi hanya saja itu terbatas untuk dirinya sendiri.
Pada periode ini Sahabat sudah tersebar di berbagai penjuru negeri dan ini menjadikan jalur periwayatan hadis jadi lebih panjang. Selain daripada itu banyak para penghafal hadis Nabi yang gugur di medan jihad dan hadis-hadis palsu mulai bermunculan. Maka pada periode Tabi’in ini mulai hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ dikumpulkan dan dibukukan demi menjaga keotentikan hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Para ulama di periode ini juga mulai merumuskan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk memisahkan antara hadis yang sohih dan hadis yang dho’if atau mawdhu’. Yang pertama kali membukukan hadis ialah Ibnu Syihab Az Zuhri atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
3. Fatwa Sahabat
Ketika para Tabi’in tidak menemukan jawaban atas suatu permasalahan di Al Quran dan As Sunnah maka mereka akan mencari fatwa-fatwa para Sahabat terkait permasalahan tersebut. Karena tentunya Tabi’in faham betul bahwasanya para Sahabat adalah generasi yang paling faham tentang wahyu dan fatwa-fatwa mereka pastinya belandaskan pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah.
Di antara Sahabat yang paling banyak mengeluarkan fatwa ialah; Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Ibnu Abbas, dll.
4. Ijtihad
Segaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang perkembangan fikih pada zaman Sahabat, bahwasanya para Sahabat dalam hal berijtihad ini terbagi menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang mencukupkan diri dengan nash-nash yang sampai kepada mereka (zawahir nushush). Kedua, mereka yang menggunakan pendapat dan pandangannya pribadi untuk berijtihad.
Pada periode ini perbedaan semakin nampak dan jelas. Para tabi’in mewarisi metode-metode dalam menetapkan sebuah hukum dari guru-guru mereka dari kalangan Sahabat. Akhirnya pada periode ini munculah di kalangan kaum muslimin dua madrasah atau dua madzhab penetapan hukum; Madrasah Kufah atau madrasah ahlu ar ra’y dan Madrasah Madinah tau madrasah ahlu al hadits.
- Madrasah Ahlu Al Hadits
Ulama ahlu al hadits adalah mereka yang mewarisi kehati-hatian para sahabat terhadap penggunaan ra’y (opini)sehingga membuat mereka jarang melampaui teks wahyu itu sendiri.
Madzhab ahlu al hadits ini berkembang dan tersebar luas di daerah Hijaz dan lebih khususnya di Madinah. Ada tujuh penerus Sahabat di Madinah yang paling terkenal mewarisi metodologi ini, mereka di kenal dengan fuqaha sab’ah (tujuh ahli hukum), mereka adalah:
- Urwah bin Zubair
- Said bin Al Musayyab
- Al Qasim bin Muhammad
- Abu Bakr bin Abdurrahman bin Haritsah
- Ubdaidullah bin Abdullah bin Utbah
- Kharijah bin Zaid
- Sulayman bin Yasar
Faktor utama yang menjadikan mereka mencukupkan diri dengan nash-nash syari yang datang kepada mereka dan tidak banyak menggunakan opini dalam menentukan hukum ya karena mereka tinggal di Madinah dan hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ terkumpul banyak di sana. Selain daripada itu, kondisi Madinah yang bukan kota metropolitan seperi Kufah menjadikan kehidupan penduduknya lebih simpel dan tidak banyak hal-hal yang baru.
Dari madrasah ahli al hadits ini lah nantinya lahir Madzhab Imam Malik bin Anas atau yang lebih dikenal dengan madzhab maliki.
- Madrasah Ahlu Ar Ra’y
Ulama ahlu ar ra’y adalah mereka yang merasa bahwa penafsiran hukum tidak terbatas hanya pada teks-teks wahyu saja, melainkan ada peran nalar dan ijtihad dalam mengungkap makna yang ada di balik teks-teks tersebut. Metode ini tersebar luas dan berkembang di Irak dam khususnya di Kufah.
Selain karena memang ulama ahlu ar ra’y mewarisi metode Umar dan Ibnu Mas’ud dalam menetapkan hukum, ada faktor-faktor lain yang membuat mereka cenderung menggunakan penalaran dan opini dalam menentukan sebuah hukum, di antaranya:
- Karena Irak adalah tempat berkembangnya pemahaman syiah dan khawarij maka banyak hadis palsu yang tersebar di sana. Para Ulama di Irak sangat ketat terhadap penyeleksian hadis sahih dan hasilnya hanya sedikit hadis sahih yang tersebar di sana.
- Karena Irak dan khususnya Kufah adalah metropolitan, maka banyak peristiwa dan permasalahan-permasalahan baru yang muncul di sana. Sebab ini lah yang akhirnya membuat ulama di sana cenderung lebih sering menggunakan penalaran dan ra’yun untuk menentukan sebuah hukum atas permasalahan-permasalahan baru tersebut.
Dari madrasah ahli al ra’yu ini lah nantinya lahir Madzhab Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan madzhab hanafi.
Barakallah fii ilmik A 🤲🏻✨