Bandara, tempat paling tepat untuk memadu rasa. Bersama bisikan bisikan doa serta peluk hangat sahabat dan keluarga, untuk sementara ku tinggalkan kembali tanah air tercinta. Kini kali kedua aku terbang tinggalkan Indonesia.
Tiba tiba lamunan saat pesawat lepas landas menamparku mesra. Awan awan seolah melambai hendak sampaikan sebuah fakta; Aku sedang tidak terbang ke kota Nabi tercinta. Hembusan takdir menggiringku ke tanah tetangga.
Sejatinya, telah lama ku pinta ia dalam doa. Aku rasa kita pernah sedekat jemari dengan kaca jendela disaat hujan menyapa. Sedekat garpu dan sendok yang tersusun rapih diatas meja. Tapi untuk meraihnya, -dengan ke Maha Luasan IlmuNya- ternyata aku belum mendapat persetujuanNya. Aku tau banyak yang kecewa, tapi tentu akulah yang paling perih menanggung luka.
Ku perhatikan seorang penikmat kopi di kursi ujung sana. Pikirku, kenapa tidak ia tambahkan gula? Bukankah akan pahit rasanya? Aku amati, kemudian berhasil kudapati bahwasanya, terkadang rasa pahit ada untuk dinikmati. Karena akan datang setelahnya banyak energi dan bertumpuk inspirasi.
Menyusun tangga dari serpihan hati yang sempat berantakan. Tak lupa untuk perkuat harapan di setiap pijakan. Kosongkan waktu untuk lama-lama denganNya berduaan. Bukankah selama ini selalu memintaNya untuk berikan yang terbaik dari semua pilihan? Lalu apalagi yang masih diragukan?
Bersama senja yang sudah dijemput kejora di ujung cakrawala, roda pesawat berhasil mencumbu mesra landasan bandar udara antarabangsa. Ku seret koperku menuju konter imigrasi. Lancar, resmi sudah aku diterima jadi pendatang di negara ini.
Bersama dua orang yang menjemputku di bandara, ditambah dua orang mahasiswa baru yang datang denganku di hari yang sama, kita menuju tempat dimana kami akan ditempa.
Ban mobil yang kami tumpangi membelai mesra aspal jalanan kota. Sudah hampir larut malam, tapi ku paksa pandanganku untuk menyelinap keluar jendela, menuju deret melintang nyala lampu kota. Saat sampai ditengah kota, bisa ku lihat nyala menara kembar yang selama ini jadi ikon negara. Tapi sayang, disekelilingnya sudah banyak bangunan terang lainnya. Membuat cahayanya tak se-aesthetic dulu kala.
Selama perjalanan, orang yang menjemputku ini banyak bercerita tentang keadaan Malaysia dan tentang kampus kita. Kebetulan, beliau adalah mahasiswa postgraduate di kampus yang sama. Dari paparannya, aku semakin yakin bahwa ada banyak hikmahNya yang akan kita jumpa. Ditambah cerita, doa ,dan kalimat motivasi yang dititipkan orang orang tercinta. Semangatku membara, membakar setiap rongga!
Kita adalah pemilik hati yang sebenarnya. Dari penolakan kita harus bisa belajar menerima. Tidak stagnan pada titik yang sama. Terus tegap gagah melangkah. Menyongsong dimensi baru yang lebih cerah. Kan kita petik bunga mawar merah paling indah. Jika memang sudah saatnya ia merekah.
Terimakasih untuk semua kesayangan-kesayanganku. Telah menjadi pembakar semangat paling jitu. Meskipun mungkin kalian tak tau dan untuk mengucapnya langsung lisanku sedikit kaku. But trust me, sayangku ke kalian lebih dari tiga ribu.
Salam sayang dan rindu dari tanah melayu.
IIUM dan IUM, masing-masing punya kelebihan anak-anakku…. Pada keduanya kalian bisa meraih keberkahan ilmu, pun pada keduanya kalian bisa saja tidak mendapatkan apa-apa. Terpulang pada bagaimana kalian bersikap pada karunia-Nya yang telah kalian terima….
Mohon doanya terus ya Ayahanda..
Maa syaa Allah…tabarakaullah…Allah pasti punya rencana yg terbaik untuk mu ananda Labib……tapi kita belum tau..
Semoga Allah mudahkan bagimu untuk senantiasa bersyukur , berdoa..dan bersabar dg kesabaran yg jamiil
Aaamiin Ya Rabb. Syukron
Masya Allah, Tabarokallah,
Aa’ Labib 👍,
Desember 2019 kami ketemu dg Ust. Rezi, Mudir MA karantina Bin Baz di Jogja, ternyata beliau alumnus IIUM
dan Alhamdulillah membuat Sakti tambah manteb utk tetap di jalur santri, in sya Allah.
Zadanallah ilman wa hirsha
Semoga Allah manambah kita ilmu & semangat